Rabu, 11 Mei 2011

BICARA CINTA

Bicara Cinta                                                 

Aku bertanya kepadamu,
Bukan... bukan kepada orang lain di sampingmu...
Tak perlu kau menoleh kanan menoleh kiri...
Bukan... bukan kepada orang di balakangmu
Tak perlu pula kau menengok ke belakang...
Ya... kepadamu saja aku bertanya,
Tentang cinta...
Aku hanya perlu jawaban “YA” atau “TIDAK”

Pertanyaan pertamaku,
Benarkah orang akan selalu ingat yang ia cintai ?

Kenapa kamu diam?
Jawab pertanyaanku!
Benarkah?
Benarkah kamu mengatakan “YA?”
Syukurlah... aku senang kamu menjawab “YA”
Karena kamu banar – benar merasakan sebagian dari cinta.

Pertanyaan keduaku,
Benarkah orang akan selalu rindu yang ia cintai?

Tidak usah ragu untuk menjawab...
Jawab saja “YA” atau “TIDAK”
Ooh.. kenapa kamu hanya tersenyum...?
Apakah berarti kamu setuju untuk menjawab “YA?”
Baguslah kalau begitu...
Aku hanya berpikir pasti kamu sangat gembira
kala kamu temui yang kau rindu
pasti kala itu kamu ingin berlama – lama bersama yang kamu cinta...
Wow... senyummu malu – malu,
Meski tak kamu katakan “YA”
Tapi senyummu cukup jujur meng”IYA”kan...

Kali ini pertanyaan ketiga,
Benarkah cinta itu membangkitkan semangat?

Maksudku, semangat untuk melakukan sesuatu demi yang dicinta.
Meski harus kehujanan, kepanasan, tetap semangat demi yang dicinta.

Hmmm... aku tidak memintamu menganggukkan kepala,
Tapi tak mengapa, mungkin anggukan kepala juga bahasa cinta,
Bahasa tanpa kata, tanpa bicara...
Jadi... kamu setuju menjawab “YA” kan?

Terimakasih untuk semua jawabanmu
Aku senang,
Karena kamu tak berbohong tentang cinta
Jika kamu sedang mencinta,
Cinta kamu benar – benar cinta...

Jika kamu berkata
“Cinta tanpa sering ingat yang dicinta adalah bohong”
“Cinta tanpa rindu kepada yang dicinta adalah dusta”
“Cinta tanpa semangat berbuat demi yang dicinta adalah palsu”
Aku setuju itu,
Aku berikan dukungan untuk itu..

Senangnya aku berteman denganmu
Berpandangan sama tentang cinta...

Kenapa kamu tersenyum sendiri?
Aku juga ingin tersenyum...
Baiknya kita tersenyum bersama saja...
Senyum kesepakatan tentang rukun cinta yang harus terpenuhi

Sebentar...
Masih ada pertanyaanku untukmu
Pertanyaan yang pasti kamu akan menjawab “YA”
Tanpa sedikitpun ragu

Benarkah kamu cinta Tuhanmu?
Pasti “YA”
Bodohnya aku,
Kenapa mesti aku bertanya
Sedang aku sudah tahu pasti jawabanmu...

Aku ganti saja pertanyaanku...
Jika kamu cinta Tuhanmu,
Benarkah kamu sering mengingatNYA? menyebutNYA?

Kenapa kaget?
Ada apa dengan pertanyaanku?
Apakah aku sampaikan pertanyaan salah?

Baiklah...
Aku ganti lagi pertanyaanku...
Jika kamu cinta Tuhanmu,
Benarkah kamu sering merasakan rindu kepadaNYA?
Kalau kamu mendengar panggilan untuk bertemu denganNYA,
bertemu denganNYA dalam ruku’ dan sujud dalam shalat misalnya,
Sukakah kamu penuhi panggilan itu?
Sukakah kamu berlama – lama menghadapNYA?

Hmmm… kenapa kamu diam lagi?
Masih salahkah pertanyaanku?

Baiklah...
Aku rubah lagi pertanyaanku…
Jika kamu cinta Tuhanmu,
Benarkah semangatmu menyala melakukan sesuatu demi DIA?
Kalau DIA menyuruh kamu bangun saat dinginnya malam,
Adakah semangatmu untuk bangun?

Hmmm…
Ada apa lagi?
Kenapa sekarang kamu tersenyum?
Baiklah…
Aku temani kamu tersenyum…

Tapi…
Kenapa senyum kita sekarang berbeda?
Tidak sama seperti senyum kita tadi…
Saat kita tersenyum untuk kesepakatan tentang cinta,
“Cinta tanpa sering ingat yang dicinta adalah bohong”
“Cinta tanpa rindu kepada yang dicinta adalah dusta”
“Cinta tanpa semangat berbuat demi yang dicinta adalah palsu”

Kesepakatan itukah yang membuat
Senyum kita kini tak seperti senyum kita tadi?
Tetapi kenapa? Bagaimana bisa?

Biarlah senyum ini senyum penuh tanya,
Biarlah pula kita mencari jawabnya… Code : Share

Minggu, 08 Mei 2011

Tafsir Surat an - Nisa' 135

ياأيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين إن يكن غنيا أو فقيرا فالله أولى بهما فلا تتبعوا الهوى أن تعدلوا وإن تلووا أو تعرضوا فإن الله كان بما تعملون خبيرا
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Tafsir Ayat
ياأيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسط
Terjemah
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
Tafsir
Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada hamba – hambaNya yang beriman, agar mereka menjadi orang – orang yang menegakkan keadilan. Tidak berat sebelah. Agar dalam menegakkan keadilan itu mereka tidak takut akan cercaan atau ejekan orang lain. Hendaklah orang – orang yang beriman saling menlong dan bahu membahu untuk tegaknya keadilan.
شهداء لله
Terjemah
menjadi saksi Karena Allah
Tafsir
Sebagaimana firman Allah dalam ayat 2 surat ath - Thalaq
وأقيموا الشهادة لله
Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah
Yakni agar persaksian itu dilakukan semata – mata karena Allah, karena mengharapkan ridhaNya, sehingga persaksian itu akan benar, adil, dan bersih dari penyimpangan serta tidak menyembunyikan kebenaran.
ولو على أنفسكم
Terjemah
biarpun terhadap dirimu sendiri
Tafsir
Bersaksilah dengan benar meskipun akibatnya buruk atau merugikan dirimu sendiri, karena Allah akan memberikan kebahagiaan dan jalan keluar dari kesempitan kepada orang – orang yang taat kepadaNya.
أو الوالدين والأقربين
Terjemah
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu
Tafsir
(Bersaksilah dengan benar) meskipun terhadap kedua orang tua dan kaum kerabat. Katakanlah yang hak dalam persaksianmu meskipun akibat dari kesaksian itu akan buruk atau merugikan orang tua dan kerabatmu.
إن يكن غنيا أو فقيرا فالله أولى بهما
Terjemah
jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya
Tafsir
Tegakkanlah kebenaran, bersaksilah dengan benar, baik tergugat atau terdakwa baka atau miskin. Janganlah berlaku berat sebelah karena karena terpengaruh oleh kekayaan atau kemiskinannya. Allah lebih tahu kemaslahatannya.
فلا تتبعوا الهوى أن تعدلوا
Terjemah
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran
Tafsir
Dan janganlah hawa nafsumu, kesukuan atau fanatisme golongan, atau kebencian orang menghalangi kamu untuk berbuat adil. Tegakkanlah keadilan dalam setiap keadaan, kepada siapapun, dan meskipun karena keadailan itu banyak orang membencimu. Allah berfirman dalam surat al – Maidah ayat 8 ;
ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى
dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa
وإن تلووا
Terjemah
dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata)
Tafsir
Berkata Mujahid dan tidak sedikit dari Ulama Salaf bahwa تلووا berarti تحرفوا الشهادة وتغيروها yaitu merubah persaksian memutarbalikkannya. Sedangkanواللي berarti التحريف وتعمد الكذب atau perubahan, pemutarbalikan dan kesengajaan untuk melakukan kebohongan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imrnn ayat 78 ;
وإن منهم لفريقا يلوون ألسنتهم بالكتاب لتحسبوه من الكتاب وما هو من الكتاب ويقولون هو من عند الله وما هو من عند الله ويقولون على الله الكذب وهم يعلمون
Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. mereka Berkata dusta terhadap Allah sedang mereka Mengetahui.
أو تعرضوا
Terjemah
atau enggan menjadi saksi
Tafsir
الإعراض adalah كتمان الشهادة وتركها yang berarti menyembunyikan persaksian dan meninggalkannya. Allah berfirman dalam surat al – Baqarah 283 :
ومن يكتمها فإنه آثم قلبه ولا تكتموا الشهادة
dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
خير الشهداء الذي يأتي بشهادته قبل أن يسألها
Sebaik – baik saksi adalah yang datang dengan persaksiannya sebelum persaksian itu diminta/ditanyakan kepadanya.
فإن الله كان بما تعملون خبيرا
Terjemah
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan
Tafsir
Allah mengingatkan kepada orang – orang yang beriman bahwa Dia Maha mengetahui perbuatan setiap hambaNya dan akan memberi balasan sesuai dengan amal mereka.
 
Sumber : Tafsir Ibnu Katsir
http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=49&ID=351#docu
Code : Share

Kamis, 05 Mei 2011

GONO GINI

GONO GINI
(Harta bersama suami istri)
Dalam pandangan UU tahun 1974 tetang Perkawinan tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum Fiqh

Salah satu hal yang sering menjadi perbincangan dalam rumah tangga adalah masalah kepemilikan harta. Harta milik suami, harta milik istri, dan harta milik bersama. Biasanya urusan tersebut menjadi pembicaraan hangat dan serius ketika terjadi keretakan hubungan suami istri dan berujung kepada perpisahan atau perceraian. Urusan kepemilikan yang pada awal rumah tangga dibangun tidak atau jarang diperhitungkan karena indahnya cinta, nikmatnya hubungan cinta yang dihalalkan dengan pernikahan, atau karena ke_tabu_an membicarakannya, justru seringkali menjadi penyebab bertambah parahnya keadaan rumah tangga yang sedang berada di ambang perceraian atau bahkan pasca perceraian terjadi. Bukan hanya itu, terkadang urusan gono – gini juga menjadi penyebab sengketa ahli waris ketika perpisahan antara suami istri disebabkan karena salah satu di antara mereka meninggal dunia.

Kecenderungan manusia untuk tidak mau melepas sedikitpun harta hak milik yang dia miliki (bakhil, sangat kuat citanya kepada harta) seperti disebutkan dalam surat al – ‘Adiyat 8 Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta,” juga menjadi sebab besar terjadinya sengketa dalam pembagian gono – gini ketika sebuah keluarga dihadapkan kepada perceraian.

Penguasa (Pemerintah) yang ikut memiliki tanggung jawab dalam urusan pernikahan dan hal – hal yang berkaitan dengan hal tersebut telah memiliki kaidah – kaidah yang jelas, sebagaimana telah ditetapkan dalam UU tahun 1974 tetang Perkawinan serta telah jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketetapan – ketetapan yang ada, di samping sebagai pedoman dalam urusan pernikahan, juga sangat diharapkan mampu meredam dan menyelesaikan segala sengketa yang terjadi khususnya dalam urusan harta bersama.

Meskipun demikian, sebenarnya perihal harta milik bersama atau yang lebih dikenal dengan istilah gono – gini, adalah urusan rumah tangga. Urusan ini dapat diselesaikan dengan jalan damai melalui musyawarah. Kesepakatan – kesepakatan yang ditetapkan dalam musyawarah itu kemudian menjadi ketetapan yang mengikat dan berlaku serta menjadi hukum yang harus ditaati suami dan istri. Kelonggaran untuk mencari jalan damai ini lebih disukai, sehingga masalah yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik, tanpa harus menambah masalah yang dampaknya sangat mungkin akan ikut mempengaruhi hubungan ukhuwwah yang harus dipertahankan, apalagi sampai mempengaruhi hubungan antara orang tua dan anak.

Status kepemilikan harta dalam rumah tangga 

Pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah mulia. Menyatukan dua orang berlainan jenis dalam ikatan hubungan yang halal, memperjelas nasab dan keturunan. “Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,” dan Allah menjadikan diantara laki – laki dan perempuan dengan pernikahan itu “rasa kasih dan sayang.” (ar – Ruum 21). Berkumpulnya laki – laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan itu juga menjadi sebab berkumpulnya kekayaan harta benda ;

  1. Harta milik suami, yaitu harta yang dimiliki oleh suami saja, tanpa kepemilikan isteri pada harta itu.
    • Harta yang dimiliki suami sebelum terjadi pernikahan.
    • Seluruh harta yang dimiliki suami sebelum terjadi pernikahan, baik harta itu diperoleh dari pemberian orang tua, hasil kerja, hibah, waris, atau dari sebab – sebab lain, tetap menjadi milik suami setelah pernikahan.
    • Harta yang diperoleh setelah terjadi pernikahan.
    • Terjadinya pernikahan tidak secara otomatis menjadikan harta yang diperoleh suami menjadi harta milik bersama atau berpindah menjadi milik istri. Seluruh harta yang diperoleh suami dari hibah, hadiah yang dikhususkan kepadanya, harta yang didapat dari pembagian harta waris, adalah harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan istri. Demikian pula harta hasil usaha suami yang tidak atau belum diberikan kepada istri, maka harta itu tetap menjadi milik suami tanpa kemilikan istri pada harta itu.
  2. Harta milik isteri, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja, tanpa kepemilikan suami pada harta itu.
    • Harta yang dimiliki istri sebelum terjadi pernikahan.
    • Seluruh harta yang dimiliki istri sebelum terjadi pernikahan, baik harta itu diperoleh dari pemberian orang tua, hasil kerja, hibah, waris, atau dari sebab – sebab lain, tetap menjadi milik istri setelah pernikahan.
    • Harta yang diperoleh setelah terjadi pernikahan.
    • Sebagaimana harta milik suami, terjadinya pernikahan tidak secara otomatis menjadikan harta yang diperoleh istri menjadi harta milik bersama atau berpindah menjadi milik suami. Seluruh harta yang diperoleh istri sebagai nafkah dari suaminyahibah, hadiah yang dikhususkan kepadanya, termasuk mahar pernikahan, harta yang didapat dari pembagian harta waris, adalah harta yang dimiliki oleh istri tanpa kepemilikan suami. Termasuk harta hasil usaha istri yang tidak atau belum dishadaqahkan kepada suami atau dishadaqahkan untuk kepentingan keluarga, maka harta itu tetap menjadi milik istri tanpa kemilikan suami pada harta itu.
  3. Harta milik bersama, yaitu harta yang dimiliki oleh suami dan istri secara bersama.
  4. Harta benda rumah tangga dapat menjadi milik bersama jika diperoleh dari hasil bersama. Harta benda yang dibeli dengan uang suami istri (patungan) misalnya, menjadi milik bersama. Termasuk harta milik bersama adalah harta yang diperoleh dari pemberian, hibah, hadiah orang lain untuk keduanya (suami istri). Demikian pula harta suami atau istri dapat menjadi harta milik bersama jika suami atau istri sebagai pemilik harta itu dengan sukarela memberikan hak miliknya untuk menjadi milik bersama.

Kepemilikan harta benda suami istri dalam UU tahun 1974 tetang Perkawinan

  1. Tentang harta yang dimiliki masing – masing suami dan istri :
  2. Pasal 35 ayat 2
    (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
    Pasal 36 ayat 2
    (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
  3. Tentang harta milik bersama (harta bersama) :
  4. Pasal 35 ayat 1
    (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

Kepemilikan harta benda suami istri dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

  1. tentang harta milik masing – masing suami dan istri :
  2. Pasal 85
    Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing – masing suami atau isteri.
    Pasal 86
    (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
    (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
    Pasal 87
    (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
    (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
  3. Tentang harta milik bersama (harta bersama), disebutkan dalam KHI sebagai berikut :
  4. Pasal 1
    (f) Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
GONO – GINI

Gono gini adalah harta perolehan bersama selama bersuami istri. Harta gono – gini inilah yang dalam UU tahun 1974 tetang Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum islam disebut dengan harta bersama. Harta gono – gini ini juga yang akan dibagi untuk suami dan istri jika terjadi percerian.
Tatacara pembagian harta gono – gini diatur dalam UU tahun 1974 tetang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :

  1. UU tahun 1974 tetang Perkawinan
  2. Pasal 37
    Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
    Penjelasan Pasal 37
    Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
  3. Kompilasi Hukum Islam
  4. Pasal 96 :
    (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
    Pasal 97
    Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari hartabersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Tatacara seperti disebutkan di atas sangat jelas. Tetapi terdapat perbedaan tatacara yang juga sangat jelas. UU tahun 1974 tetang Perkawinan memberikan kelonggaran tatacara pembagian harta bersama dengan penyelesaian melalui hukum masing – masing. Dengan hukum agama, hukum adat, atau hukum lain yang disepakati suami dan istri. Sedangkan tatacara yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam secara tegas menetapkan bagian masing – masing suami dan istri adalah seperdua (50 : 50).


GONO GINI dalam PANDANGAN FIQH ISLAM

Syari’ah Islam mengakui hak – hak kepemilikan pribadi. Firman Allah tentang tata waris (an – Nisa’ 12) menyebutkan “…dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,” dan pada ayat yang sama harta yang kamu (suami) tinggalkan” adalah salah satu bentuk pengakuan bahwa masing – masing suami dan istri mempunyai hak milik secara pribadi, yang  hak milik itu akan menjadi tirkah (harta waris) untuk ahlinya. Jelasnya bahwa syari’ah Islam mengakui bahwa suami dapat memiliki hartanya sendiri dan tidak ada kemilikan istri dalam harta itu, dan istri juga dapat memiliki hartanya sendiri tanpa ada kepemilikan suami dalam harta itu.

Istilah gono gini tidak dikenal dalam hukum fiqh Islam. Tetapi jika menilik definisi gono gini adalah harta harta bersama, maka gono gini dapat dikategorikan sebagai harta.
syirkahYang dimaksud dengan syirkah dalam hal harta gono gini adalah syirkah kepemilikan (syirkah milk/syirkah amlak), yaitu kepemilikan bersama atas suatu barang di antara dua orang atau lebih. Kepemilikan bersama itu bisa terjadi karena sebab – sebab seperti jual-beli, hibah, wasiat, dan waris, atau karena adanya percampuran harta benda yang sulit untuk dipilah-pilah dan dibedakan.

Mengingat bahwa harta yang dikenal dengan gono – gini adalah harta yang harus jelas menjadi milik bersama dan terpisah dari harta pribadi masing – masing suami dan istri, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu sebelum harta bersama itu dibagi.
  1. Kebutuhan ekonomi rumah tangga adalah tanggung jawab suami.
  2. Bahwa setelah terjadinya ijab dan qabul dalam aqad nikah, maka sejak saat itu seorang laki – laki berstatus sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Kebutuhan sandang pangan istri, nafakah, dan segala kebutuhan dalam rumah tangga menjadi tanggung jawabnya.
    Firman Allah
    • “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (an – Nisa’ ; 4)
    • “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (an – Nisa’ ; 34)
    • dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (Al – Baqarah ; 233)
    • “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (ath – Thalaq ; 6)
    • “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (ath – Thalaq ; 7)
    Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
    • Seorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?” Beliau menjawab: “Engkau beri makan istrimu bila engkau makan dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian, jangan engkau pukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekan dia dan jangan engkau kucilkan dia kecuali di dalam rumah. (pisah ranjang)” (HR. Abu Daud)
    • “Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari Muslim)
    • “Sedangkan hak mereka (istri) terhadap kalian (suami) adalah kalian berbuat baik kepada mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
    • “Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari Muslim)
    Dalil – dalil di atas menjadi dasar wajibnya suami untuk mencukupi kebutuhan makan, pakaian, dan nafakah istri serta kebutuhan biaya rumah tangga. Kewajiban suami dalam hal nafkah itu tidak dapat dikatakan gugur meskipun istri adalah seorang yang kaya raya atau memiliki penghasilan sendiri. Dengan demikian, maka harta istri tetap menjadi milik istri dan segala macam harta yang oleh suami telah diberikan kepada istri juga menjadi milik istri, bukan termasuk harta bersama (gono gini).
    Dalam penjelasan yang disusun oleh Syaifullah Utan – Sumbawa, seperti dimuat dalam eramuslim  (http://www.eramuslim.com/ustadz/ask/mwr) secara gamblang beliau dijelaskan; “…seorang wanita punya hak istimewa dalam Islam. Seorang wanita tidak pernah disunnahkan, apalagi diwajibkan, untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Kalau dia masih punya ayah, maka nafkahnya ditanggung oleh ayahnya. Dan kalau dia sudah bersuami, maka nafkahnya ditanggung oleh suaminya.”
    Selanjutnya tentang konsep nafkah dijelaskan “Nafkah adalah pemberian harta dari suami kepada isteri, di mana harta itu bukan milik bersama melainkan harta itu kemudian menjadi milik isteri. Namun yang selama ini lebih sering terjadi adalah seorang suami menyerahkan gajinya kepada isteri untuk keperluan hidup. Di mana gaji itu seolah-olah bukan milik isteri, melainkan milik berdua. Sehingga isteri tidak mendapat apa-apa dari gaji suami. Seharusnya, isteri dapat jatah khusus untuk dirinya, entah untuk ditabung atau dibelanjakan, di mana dia punya account khusus yang wajib terus dibayarkan oleh suami, di luar semua kepentingan rumah tangga. Sebab di luar nafkah isteri, suami tetap wajib membiayai semua keperluan hidup seperti makanan, pakaian, rumah dan keperluan rumah tangga yang lain. Intinya, seorang isteri harus mendapat ‘gaji’ tersendiri, di luar kebutuhan rumah tangga.”
    Penjelasan tersebut membagi nafkah menjadi dua macam ;
    1. Nafkah untuk kebutuhan rumah tangga ; sandang, pangan, biaya bulanan (sewa rumah, listrik, air, dsb), serta biaya – biaya lain yang harus dipenuhi untuk kebutuhan rumah tangga.
    2. Nafkah khusus diberikan kepada istri (untuk dimiliki istri) di luar kebutuhan rumah tangga.
    Ringkasnya, jika seorang wanita sebelum menikah mendapatkan nafkah sandang pangan, dan biaya keperluan lain seperti belanja untuk kepentingan pribadi, uang jajan, atau uang tabungan untuk dirinya dari orang tua (ayah), maka hal yang sama didapatkan seorang istri dari suaminya.
    Bagaimana jika seorang suami yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memberi nafkah tetapi dia pelit dan tidak menjalankan kewajiban memberi nafkah kepada istrinya ? Jawbannya ada pada hadits ;
    ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah, istri Abu Sufyan datang mengadu kepada Rasulullah
    Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  3. Haram bagi suami untuk meminta kembali harta benda yang telah diberikan kepada istrinya.
  4. Firman Allah “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain (cerai dan menikah dengan wanita lain), sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?” (an – Nisa’ 20)
  5. Jika istri kaya, berpenghasilan, dan ikut membiayai kebutuhan rumah tangga.
  6. Sekali lagi bahwa kekayaan istri adalah milik istri secara pribadi. Jika istri memiliki usaha yang menghasilkan harta benda, maka hasil usaha itu juga milik istri. Sebabnya adalah jelas, karena kebutuhan ekonomi keluarga adalah tanggung jawab suami. Namun demikian, jika istri ingin berpartisipasi dengan sukarela memberikan sebagian atau semua hak miliknya untuk kepentingan rumah tangga, maka hal yang demikian diperbolehkan dalam syari’at Islam.
    Firman Allah “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dengan memperhatikan hal – hal tentang harta benda dalam rumah tangga seperti disebutkan di atas, pembagian harta bersama hendaknya diawali dengan pemilahan/pemisahan harta milik masing – masing suami dan istri. Tentunya hal ini memerlukan kejujuran dari kedua belah pihak. Jika telah jelas harta mana milik suami dan harta mana milik istri, selanjutnya barulah dilakukan pembagian harta bersama.

Mengingat bahwa Pasal 97 Kompilasi Hukum IslamJanda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan,” yang dengan pasal itu bisa saja merugikan salah satu pihak suami atau istri, maka pembagian harta bersama (gono – gini) dilakukan dengan merujuk kepada UU tahun 1974 tetang Perkawinan Pasal 37 “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing” dengan penjelasan bahwa “Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya,” yakni menurut hukum syari’at Islam.
  1. Pembagian harta gono – gono atau harta bersama atau dalam fiqh disebut dengan syirkah amlak dilakukan dengan menghitung prosentase harta yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak untuk bersama – sama membeli/mendapatkan/ harta benda yang dimiliki bersama.
  2. Contoh : Sebuah rumah dibeli dengan 70 % harta istri dan 30 % harta suami. Jika rumah yang dibeli dengan harta bersama tersebut dijual, maka bagian suami dan istri adalah sebanding dengan prosentase harta yang mereka keluarkan saat membeli.
  3. Pembagian harta syirkah dilakukan dengan ash – shulhu (الصلح) yaitu jalan perdamaian.
  4. Dalam al – Qur’an surat an – Nisa’ 128, ash – shulhu atau perdamaian berarti kerelaan istri untuk melepaskan sebagian haknya sebagai jalan agar rumah tangga tidak berakhir dengan perceraian. Pemaknaan atau penafsiran ayat seperti didasarkan pada hadits tentang Saudah istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika Saudah merasa khawatir akan diceraikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia memberikan hak satu malamnya untuk ‘Aisyah.
    Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an – Nisa’ 128)
    Ash – shulhu dalam hal pembagian harta bersama (syirkah amlak) adalah perdamaian yang ditempuh melalui kesepakatan – kesepakatan antara suami dan istri tentang bagian yang diterima oleh masing – masing, yang di dalam kesepakatan – kesepakatan itu istri atau suami dengan suka rela melepaskan sebagian haknya.
    Contoh ; Karena pertimbangan bahwa ada anak – anak yang ikut dalam asuhan ibu, maka suami istri sepakat untuk membagi harta bersama, 30 % untuk suami dan 70% untuk istri.
    Contoh ; Suami istri membeli mobil dengan harta patungan 50 : 50. Pada saat pembagian harta milik bersama, -setelah mobil milik bersama dijual- karena istri kaya raya dan memiliki usaha sendiri sedangkan suami meskipun memiliki pekerjaan tetap tetapi memiliki tanggungan dalam jumlah besar (hutang pribadi) yang masih harus diselesaikan, maka istri rela untuk menerima 25% hasil penjualan mobil dan sisanya untuk suami. Firman Allah “…dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir…” (an – Nisa’ 128)

Dengan menempuh jalan ash – shulhu ini maka pembagian harta milik bersama dalam rumah tangga tidak menjadi sengketa berkepanjangan. Pengadilan Agama adalah pihak ketiga, sebagai tempat penyelesaian apabila urusan pembagian harta bersama menemui jalan buntu. Kompilasi Hukum Islam Pasal 88 menyebutkan “Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.”

Wallahu a’lam bish – shawab
Code : Share

Rabu, 23 Maret 2011

JANJI

Pengakuan seorang laki – laki di depan Umar bin Khattab tentang perbuatannya yang menyebabkan kematian seseorang telah membawanya kepada vonis hukum yang harus dia hadapi. Amirul Mukminin Umar bin Khattab, salah satu Khalifah yang dikenal tegas, menetapkan qishah, hukuman mati.
“Kamu telah mengakui apa yang kamu lakukan. Tidak ada alasan bagiku untuk menetapkan hukuman selain hukuman mati.”
“Sam’an wa tha’atan, aku menerima putusan hukum ini ya Amiral Mukminin, aku ridla diberlakukannya syariah Islam terhadap diriku, tetapi aku meminta waktu untuk menyelesaikan urusanku”
“Urusan apa?”
“Demi Allah, Ayahku telah memberikan kepadaku amanat sebelum dia meninggal dunia.”
“Apa yang diamanatkan kepadamu?”
“Ya Amiral Mukinin, sesungguhnya aku memiliki seorang adik... Ayahku telah berpesan kepadaku sebelum malaikatul maut mencabut ruhnya..”

Sejenak laki – laki itu diam, mengingat kembali pesan sang Ayah, mengatur nafas, menahan tangis. Rasa tanggung jawab sebagai seorang kakak perlahan membangkitkan keberaniannya untuk duduk tegak di hadapan Amirul Mukminin.
 “Ya Amiral Mukminin, Ayahku memberikan amanat hartabenda yang harus aku jaga dan aku berikan kepada adikku jika dia telah dewasa. Aku menyimpan hartabenda itu di suatu tempat tersembunyi, hanya aku yang tahu dan dapat mengambil harta itu...”
 Hening, sepi... Semuanya diam mendengarkan kata demi kata yang keluar lugas dari lisan laki – laki yang menghadapi hukuman mati. Sopan dan lembut tuturkatanya menunjukkan kebesaran jiwa dan kejujuran.
“Ya Amirul Mukminin... Hari ini telah ditetapkan kepadaku hukuman mati dan aku talah ridla dengan ketetapanmu. Jika kau hukum mati aku sekarang, maka kaulah penyebab saudaraku tidak akan mendapatkan haknya. Aku memohon waktu tiga hari agar aku dapat menyelesaikan urusanku, mencari orang terpercaya untuk menjadi wali dari saudaraku.”
“Bagaimana aku bisa memastikan kamu akan datang kembali untuk menjalani hukuman mati?”
“Semoga engkau ya Amiral Mukminin memenuhi permintaanku dan semoga ada orang yang mau menjamin ucapan dan janjiku.”
Umar memandangi laki – laki di depannya, memperhatikan wajah jujur dan penuh harap. Dia pandangi pula orang – orang di sekitarnya. Hanya ada keheningan... Para sahabat terdiam, dua laki – laki keluarga korban yang bersuara lantang saat melaporkan kejadian pembunuhan hanya membisu menunggu kalimat yang akan terucap dari Amirul Mukminin.
“Siapa di antara kalian yang akan menjamin perkataan laki –laki ini? Siapa di antara kalian yang menjamin laki – laki ini akan kembali setelah urusannya selesai dalam tiga hari?” Pertanyaan Umar memecah keheningan.
Tidak ada jawaban.
Laki – laki di depan Amirul Mukminin itu kemudian memandangi satu persatu orang – orang di sekitarnya. Matanya berhenti menatap kepada satu sosok Abu Dzarr Al – Ghiffari.
“Wahai Anda sahabat yang mulia, aku memohon kepadamu agar menjamin kepergianku selama tiga hari.”
Semua mata menatap ke arah Abu Dzarr. Sosok dengan mata teduh penuh keyakinan itu mendekati Umar bin Khattab, tiada tampak sedikitpun keraguan dari wajahnya.
“Ya Umar, aku menjadi jaminan atas kepergiannya selama tiga hari” ucapnya tegas
“Ya Aba Dzarr, tahukah kamu yang kamu lakukan?”
“Aku sadari apa yang aku katakan.”
“Tahukah kamu, jika terpidana ini tidak datang seseuai janjinya, kamu yang akan menjalani hukuman mati sebagai tanggung jawabmu?”
“Aku tahu itu.”
Tiada kalimat lagi terucap, tiada kata lagi terungkap. Semua yang menyaksikan peristiwa itu hanya terpaku diam. Wajah – wajah dengan rona penuh kecemasan, air mata yang mengalir haru, khawatir, hanya itu...
“Ya Umar, telah ada seorang mulia yang menjamin kepergianku selama tiga hari.”
“Pergilah! Selesaikan semua urusanmu dalam tiga hari.”
Terpidana itu bangkit, berjalan melewati kerumunan orang – orang yang memandangnya dengan wajah kesal, memandangnya dengan mata ancaman. Seolah semua berkata “Awas! Jika tak kamu tepati janjimu.”
***

Matahari telah terbit, meninggi. Hari eksekusi mati telah tiba. Berbondong orang berjalan menuju tempat pelaksanaan qishah, hukuman mati.
Matahari semakin meninggi saat orang – orang mulai saling pandang, bertanya – tanya, berharap, cemas.
Bisik – bisik kekhawatiran mulai terdengar.
“Fulan belum juga datang”
“Jangan – jangan melarikan diri”
“Kita tunggu saja”
“Kalau fulan tidak datang menjalani hukuman hari ini, alangkah malangnya Abu Dzarr”
Dua pemuda keluarga korban yang telah lama ikut menunggu tampak mulai gusar.
“Ya Aba Dzarr...! Kau yang telah memberikan jaminan. Dimana orang yang kau jamin? Mana mungkin orang yang sengaja lari dari hukuman akan datang untuk menerima hukumannya?”
Suara penuh amarah dari laki – laki keluarga korban semakin memanaskan hari yang telah mulai panas.

Abu Dzarr dengan tenang dan dengan penuh wibawa menyunggingkan senyum. Satu senyum yang mampu menyejukkan panasnya sengatan sinar mentari.
“Jika sampai akhir hari ini, orang yang aku jamin kedatangannya untuk menjalani hukuman mati tidak datang, aku pasti akan menepati janjiku dan aku akan menyerahkan jiwaku sebagai pengganti untuk menerima hukuman mati.”
Seketika Umar bin Khattab berkata “Demi Allah, jika yang kau jamin kedatangannya tidak datang pada hari ini, maka aku akan memberlakukan hukum yang telah aku tetapkan pada Abu Dzarr.”
Isak tangis lirih mulai terdengar, puluhan pasang mata tampak berkaca-kaca memandangi seorang Abu Dzarr. Beberapa sahabat Nabi menemui keluarga korban dan menawarkan diyat, denda  sebagai ganti hukuman qishash. Keluarga korban tetap kokoh pada keputusan dilaksanakannya hukum qishash, hukuman mati bagi pelaku pembunuhan.
 Waktu berjalan semakin mendekati batas waktu yang ditentukan. Tanah kering tlah basah terguyur tumpahan air mata. Setiap mata menatap hanya pada satu arah, satu sosok  Abu Dzarr. Seorang sahabat Nabi dari kampung Ghiffar. Kecintaan kepada sahabat besar seperti Abu Dzarr, rasa sedih dan khawatir terhadap sesuatu yang akan menimpanya membuat semua orang yang datang pada saat itu tidak lagi memikirkan laki – laki yang sejak pagi ditunggu – tunggu kedatangannya.
“Assalamu’alaikum”
Suara salam.. Suara yang tak asing dalam pendengaran mereka... Yaa... Suara seorang laki – laki yang dinanti. Tiada keraguan dalam suara itu. Suara salam yang teramat indah untuk dilukiskan. Suara salam yang merubah tangis duka menjadi suka, menghapus segala gundah, memberi warna indah.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah”
Wajah lelah bermandi keringat laki – laki yang datang itu tampak laksana satu bintang di antara berjuta bintang. Dia datang di hadapan Amirul Mukminin, di antara para sahabat Nabi yang mulia.
“Ya Amiral Mukminin... Telah aku serahkan urusan saudaraku yang masih kecil kepada paman - pamanku. Aku telah menceritakan kepada mereka tentang keadaanku, tentang apa yang harus aku hadapi. Dan hari ini aku datang memenuhi janjiku untuk menerima hukuman mati.”
Betapa mulianya. Tak ada satupun dari yang menyaksikan peristiwa itu tidak merasa kagum kepada laki – laki yang telah datang untuk menepati janji. Bukan janji biasa, tapi janji untuk menjalani hukuman mati.

Dua laki – laki keluarga korban pembunuhan berjalan menghadap Umar bin Khattab.
“Ya Amiral Mukminin... Kami memaafkan perbuatannya yang telah menyebabkan kematian ayah kami. Kami memaafkannya semata – mata karena mengharap ridhallah ”
*)Terjemahan "al-wafa' bil 'ahdi"
Code : Share

Senin, 21 Februari 2011

MEMOTONG KUKU DAN RAMBUT KETIKA HAIDH DAN JUNUB (FIQH_HUKUM)

Tentang memotong kuku dan rambut bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), terdapat perbedaan pendapat :
  1. Tidak boleh
  2. Berkata Al – Ghazaly,

    ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءاً وهو جنب؛ إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنباً، ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها

    Dan hendaklah dia tidak bercukur, memotong kukunya, mengasah pisau (untuk bercukur), menyebabkan darah mengalir atau memperlihatkan bagian tubuhnya ketika dia dalam keadaan junub (hadats besar), demikian ini karena semua bagian tubuh akan dikembalikan seperti semula pada hari kiamat nanti, dan akan kembali dalam keadaan hadats besar. Dikatakan, setiap rambut akan menuntut atas janabatnya. Apa yang disebutkan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin tersebut bagi manjadi dasar haramnya memotong rambut dan kuku bagi orang junub dan wanita yang sedang haidh (hadats besar). Berdasarkan pendapat tersebut sebagian maka wanita yang haidh ataupun orang junub biasanya menyimpan rambut atau kuku  yang terpotong untuk kemudian pada saat mandi janabah nanti ikut dibersihkan.
  3. Boleh
  4. Tidak ada dalil baik dalam Kitabullah maupun Hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang secara sharih (tegas) tentang tidak bolehnya wanita memotong kuku dan rambut saat haidh. Dalil yang ada adalah pendapat para ulama, dengan mengaitkan kewajiban membasahi seluruh tubuh dengan air saat mandi janabah. Pendapat Imam Ghazaly yang melarang memotong rambut dan kuku bagi orang junub dan wanita yang sedang haidh adalah pendapat yang tidak berdasarkan kepada nash-nash yang shahih baik itu dari Al Qur’an,  Hadits yang shahih ataupun dari Ijma kaum muslimin. Pendapat Al – Ghazaly tersebut juga bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Al – Bukhary dalam Fathul Bary :

    قال عطاء يحتجم الجنب ، ويقلم أظافره ، ويحلق رأسه ، وإن لم يتوضأ

    Berkata `Atha’: “Orang junub itu boleh berbekam, memotong kuku dan memangkas rambut walau tanpa wudhu lebih dahulu.” Sayyid Sabiq dalam Fiqhus-Sunnah menyatakan :

    يجوز للجنب والحائض إزالة الشعر ، وقص الظفر والخروج إلى السوق وغيره من غير كراهية

    “Diperbolehkannya bagi orang yang junub dan haidl untuk menghilangkan/ memotong rambut, memotong kuku, pergi ke pasar, dan selainnya tanpa ada sisi kemakruhan”.
Sedangkan Hadits Nabi

عن عَلِيٍّ رَضِيَ اَللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ تَرَكَ مَوْضِعَ شَعْرَةٍ مِنْ جَنَابَةٍ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَعَلَ اللهُ بِهِ كَذَا وَ كَذَا مِنَ النَّارِ (رَوَاهُ اَحْمَدُ وَ اَبُو دَاوُدَ

Ali Karramallahu Wajhahu berkata : “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa meninggalkan satu tempat dari rambutnya hingga tidak terkena air ketika mandi dari janabah, Allah akan memberinya siksaan sedemikian rupa dalam neraka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Hadits tersebut adalah hadits tentang kesempurnaan dalam melaksanaan mandi karena hadats besar dan tidak berkait dengan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar)

Tanpa merendahkan pendapat yang menetapkan hukum memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), tentunya wajib bagi setiap muslim untuk bertahkim kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kembali kepada dua pedoman tersebut dalam menyelesaikan perbedaan.

Apa yang disebutkan oleh al – Bukhary adalah dalil yang kuat untuk menetapkan bahwa memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar) adalah boleh. Sedangkan perkataan Al – Ghazaly tidak dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan perbuatan memotong rambut dan kuku bagi orang yang sedang junub dan haidh (hadats besar), karena perkataan itu adalah perkataan berdasarkan pendapat yang tidak berdasar kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Wallahu A’lam bish-shawab.
Code : Share

Kamis, 17 Februari 2011

TINGGALKAN YANG HARAM, PASTI ALLAH MENDATANGKAN KEPADAMU KEBAIKAN

إِنَّكَ لاَ تَدَع شَيْئاً إِتِّقَاءَ الله تَعَالَى إلاَّ أعطَاكَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ خَيْراً مِنْهُ

“Sesungguhnya tidaklah kamu meninggalkan sesuatu karena takut kepad Allah melainkan pasti Allah ‘azza wa jalla akan memberikan kepadamu sesuatu yang lebih baik (dari yang kamu tinggalkan)” (HR. Ahmad)


Keyakinan bahwa Allah akan mengganti setiap kejelekan yang ditinggalkan  oleh hambaNya itu di berbagai lapisan masyarakat tampaknya mulai memudar. Apa yang terjadi di berbagai tempat dan di banyak bidang pekerjaan adalah ketidakyakinan, keraguan, atau bahkan –na’udzubillah- ketidakpercayaan terhadap janji Allah yang disampaikan melalui lisan RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihatlah betapa mudahnya orang menerima atau bahkan mencari rezeki haram karena takut tidak mendapatkan rezeki halal. Orang yang menyuap misalnya sering mengatakan “kalau tidak begini kita tidak akan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.” Sebuah lembaga kadang rela mengeluarkan biaya pelicin untuk mendapatkan sumbangan dengan dalih “Jika tidak mengeluarkan biaya pelicin maka tidak akan dapat sumbangan.” Tidak jarang pekerja wanita rela melakukan hal haram dengan membuka aurat juga dengan alasan “Kalau tidak begini, darimana kita dapat pekerjaan dan darimana bisa makan?” Pengusaha proyek bangunanpun memiliki alasan yang sama “harus ada uang pelicin atau tidak mendapatkan proyek.”

“Apakah setelah melakukan pekerjaan haram itu lantas mereka mendapatkan sumbangan, pekerjaan, harta?” Tentu jawabannya hampir bisa dipastikan “ya.” Faktanya memang benar bahwa dengan melakukan perbuatan – perbuatan haram itu mereka mendapatkan apa yang mereka harapkan. Hanya saja jika pertanyaannya adalah “apakah dengan melakukan pekerjaan haram itu mereka akan mendapatkan yang halal dan baik?” Maka jawaban jujur dari hati yang tidak pernah berbohong pasti berbunyi “Tidak.” Bukankah telah jelas tentang halal dan haram? Bukankah juga telah jelas peraturan negara tentang larangan suap dalam segala bidang? Akhirnya harus diakui bahwa memudarnya keyakinan akan datangnya balasan yang lebih baik bagi orang yang meninggalkan kejelekan adalah fakta telanjang.

Orang – orang yang masih memiliki iman pasti akan memberontak dengan keras perilaku – perilaku yang merendahkan janji Allah yang tidak mungkin Dia ingkari. Jiwa – jiwa yang tenang dalam keimanan pasti akan bertanya – tanya bagaimana mungkin janji Allah yang begitu mulia diabaikan begitu saja hanya demi membela kepentingan hawa nafsu duniawi fana? Sekali lagi perhatikan perkataan sebagian orang “kalau tidak nyogok begini kita tidak akan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan.” “Jika tidak mengeluarkan biaya suap maka tidak akan dapat sumbangan.” “Kalau tidak membuka aurat begini, darimana kita dapat pekerjaan dan darimana bisa makan?” “Harus ada uang pelicin atau tidak mendapatkan proyek.”
Astaghfirullah, Sudah begitu hebatkah manusia ini sehingga sebagian mereka diperlakukan bak tuhan yang mampu mendatangkan rezeki? Sudah begitu hebatkah manusia ini sehingga sebagian lain dari mereka tidak merasa nikmat dengan kebaikan yang akan datang dari Allah?
Astaghfirullah,
Bukankah lisan kita telah fasih berdzikir لله ما في السماوات ومافي الأرض (Milik Allah, segala sesuatu yang ada di langit dan segala sesuatu yang ada di bumi )?
Bukankah kita juga mengucapkan اللهم لامانع لماأعطيت ولامعطي لمامنعت (Ya Allah, tidak ada satupun yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada satupun yang dapat memberikan sesuatu yang Engkau halangi)?
Dan sudah tidak asing bagi kita ucapan  لاحول ولاقوة إلابالله العلي العظيم (Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung)?

Subhanallah, sesungguhnya Allah telah memberikan contoh,  Yusuf ‘alaihissalam, Nabiyyullah yang memilih penjara daripada menerima tawaran zina dengan wanita cantik dan kaya, kemudian Allah memberikan kepada Yusuf pengganti yang lebih baik berupa kekuasaan yang tinggi dalam kerajaan dan istri yang mulia.

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ* فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ* ثُمَّ بَدَا لَهُم مِّن بَعْدِ مَا رَأَوُاْ الآيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ

33.  Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih Aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu Aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah Aku termasuk orang-orang yang bodoh.” 34.  Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf dan dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. 35.  Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu. (Yusuf, 33 – 35)

وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الأَرْضِ يَتَبَوَّأُ مِنْهَا حَيْثُ يَشَاء نُصِيبُ بِرَحْمَتِنَا مَن نَّشَاء وَلاَ نُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ* وَلَأَجْرُ الآخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ آمَنُواْ وَكَانُواْ يَتَّقُونَ

56.  Dan Demikianlah kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (Dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. kami melimpahkan rahmat kami kepada siapa yang kami kehendaki dan kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. 57.  Dan Sesungguhnya pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. (Yusuf, 56 – 57)

Allah juga telah memberikan contoh, Sulaiman ‘alaihissalam yang dapat menguasi angin sebagai kendaraan yang mengantarkannya dengan cepat kemana dia tuju setelah Sulaiman meninggalkan 20.000,- kuda pilihan (ash-shafinat) karena kuda-kuda pilihan itu menghambatnya untuk beribadah kepada Allah.

وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ* إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ* فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَن ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ* رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالأَعْنَاقِ* وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَى كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ* قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي وَهَبْ لِي مُلْكًا لّا يَنبَغِي لِأَحَدٍ مِّنْ بَعْدِي إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ* فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيحَ تَجْرِي بِأَمْرِهِ رُخَاءً حَيْثُ أَصَابَ

30.  Dan kami karuniakan kepada Daud, Sulaiman, dia adalah sebaik- baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya), 31.  (Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepadanya kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat waktu berlari pada waktu sore, 32.  Maka ia berkata: “Sesungguhnya Aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga Aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan”. 33.  “Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku”. lalu ia potong kaki dan leher kuda itu. 34.  Dan Sesungguhnya kami Telah menguji Sulaiman dan kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah Karena sakit), Kemudian ia bertaubat. 35.  Ia berkata: “Ya Tuhanku, ampunilah Aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang juapun sesudahku, Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pemberi”. 36.  Kemudian kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja yang dikehendakiNya. (Shaad, 30 – 36)

Kurang sempurnakah contoh – contoh itu sebagai bukti sabda Nabi Sesungguhnya tidaklah kamu meninggalkan sesuatu karena takut kepada Allah melainkan pasti Allah ‘azza wa jalla akan memberikan kepadamu sesuatu yang lebih baik?

Perhatikanlah bagaimana Allah menghancurkan kaum yang memilih untuk melakukan perbuatan maksiat. Allah telah mengutuk orang – orang dari Bani Isra’il menjadi kera – kera yang hina karena mereka melanggar larangan Allah untuk mencari ikan di hari Sabtu. Bukankah mereka juga mencari ikan di hari terlarang itu karena takut tidak mendapat ikan yang banyak pada hari yang lain?

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ* فَجَعَلْنَاهَا نَكَالاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهَا وَمَا خَلْفَهَا وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ

65.  Dan Sesungguhnya Telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina”. 66.  Maka kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang Kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (al – Baqarah 65 – 66)

وَاسْأَلْهُمْ عَنِ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ حَاضِرَةَ الْبَحْرِ إِذْ يَعْدُونَ فِي السَّبْتِ إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعاً وَيَوْمَ لاَ يَسْبِتُونَ لاَ تَأْتِيهِمْ كَذَلِكَ نَبْلُوهُم بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ* وَإِذْ قَالَتْ أُمَّةٌ مِّنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْمًا اللَّهُ مُهْلِكُهُمْ أَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا قَالُواْ مَعْذِرَةً إِلَى رَبِّكُمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ* فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ أَنجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُواْ بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُواْ يَفْسُقُونَ* فَلَمَّا عَتَوْا عَن مَّا نُهُواْ عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُواْ قِرَدَةً خَاسِئِينَ

163.  Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik. 164.  Dan (Ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: “Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” mereka menjawab: “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa. 165.  Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. 166.  Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina. (al-A’raf 163 – 166)

Allah telah menghancurkan orang – orang dari kaum Nabi Luth ‘Alaihis Salam kaarena mereka menolak perintah Allah untuk berhubungan sex yang dihalalkan dengan lain jenis dan lebih memilih hubungan sex sejenis (homosex).

وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ* وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِن قَبْلُ كَانُواْ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلاء بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُواْ اللَّهَ وَلاَ تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنكُمْ رَجُلٌ رَّشِيدٌ* قَالُواْ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ* قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ* قَالُواْ يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَن يَصِلُواْ إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ اللَّيْلِ وَلاَ يَلْتَفِتْ مِنكُمْ أَحَدٌ إِلاَّ امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ* فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ

77.  Dan tatkala datang utusan-utusan kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya Karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit.” 78.  Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji (homosexual). Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih Suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?” 79.  Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu Telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan Sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang Sebenarnya kami kehendaki.” 80.  Luth berkata: “Seandainya Aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau Aku dapat berlindung kepada keluarga yang Kuat (tentu Aku lakukan).” 81.  Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka Karena Sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?” 82.  Maka tatkala datang azab kami, kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, 83.  Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim. (Hud : 77 – 82)

Allah telah menurunkan adzabNya pada kaum di negeri Madyan ketika mereka tidak mentaati perintah Allah yang disampaikan melalui lisan Nabi Syu’aib ‘Alaihis Salam agar mereka hanya menyembah Allah dan jujur dalam takaran dan timbangan. Mereka menolak panggilan Nabi Syu’aib dengan anggapan bahwa mengikuti ajarannya hanya akan mendatangkan kerugian. Mereka memilih untuk tetap melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

وَقَالَ الْمَلأُ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَوْمِهِ لَئِنِ اتَّبَعْتُمْ شُعَيْبًا إِنَّكُمْ إِذَاً لَّخَاسِرُونَ* فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُواْ فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ* الَّذِينَ كَذَّبُواْ شُعَيْبًا كَأَن لَّمْ يَغْنَوْا فِيهَا الَّذِينَ كَذَّبُواْ شُعَيْبًا كَانُواْ هُمُ الْخَاسِرِينَ* فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَا قَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالاتِ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ فَكَيْفَ آسَى عَلَى قَوْمٍ كَافِرِينَ

90.  Pemuka-pemuka kaum Syu’aib yang kafir Berkata (kepada sesamanya): “Sesungguhnya jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu jika berbuat demikian (menjadi) orang-orang yang merugi”. 91.  Kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka, 92.  (yaitu) orang-orang yang mendustakan Syu’aib seolah-olah mereka belum pernah berdiam di kota itu; orang-orang yang mendustakan Syu’aib mereka Itulah orang-orang yang merugi . 93.  Maka Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya Aku Telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan Aku Telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana Aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?” (al –A’raf : 90-93)
Code : Share

Selasa, 15 Februari 2011

BUKTIKAN CINTA RASUL DENGAN TAAT

CINTAKAH KAMU KEPADA RASULULLAH

ففي الصحيحين عن أنس رض الله عنه قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال “يا رسول الله متى الساعة؟” قال “وماذا أعدت لها” قال: “ما أعدت لها كثير عمل إلا أنني أحب الله ورسوله” قال النبي صلى الله عليه وسلم “اَلْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ” يقول أنس فما فرحنا بشي كفرحنا بقول النبي صلى الله عليه وسلم المرء مع من أحب ثم قال “وَأنَا أُحِبُّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسلَّم وَأباَ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو اللهَ أَنْ أحشرَ مَعَهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمثْلِ أعْمَالِهمْ

Anas bin Malik bahwa seorang laki – laki mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan bertanya kepada beliau “Kapankah datangnya Hari Qiyamat?” Nabi Berkata “Apa yang telah kamu persiapkan (untuk menghadapi hari Qiyamat)?” Laki – laki itu menjawab Tiddak banyak amal yang aku persiapkan tetapi aku mencitai Allah dan RasulNya” Nabi berkata “Seseorang (akan dikumpulkan) bersama orang yang ia cinta.i” Anas bin Malikpun berkata “Tidak ada kegembiraan bagi orang – orang Islam melebihi kegembiraan mereka dengan hadits Nabi ini, dan aku mencintai Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, Abu Bakar, dan Umar yang dengan cinta itu aku berharap agar aku dikumpulkan bersama mereka meskipun aku tidak (mampu) menyamai amalan mereka.”
Sebagian salaf berkata: ”Ada kaum yang mengaku bahwa mereka mencitai Allah. Maka Allah menurunkan firmannya (Ali Imron:31)

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Berkata Al-Qurtuby “Tsauban adalah seorang yang sangat mencintai Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada suatu hari dia mendatangi Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, rona mukanya berubah menampakkan kesedihan. Rasulullah bertanya kepadanya “Apakah gerangan yang telah merubah warna wajahmu?” Tsauban menjawab “Ya Rasulallah, tidak ada bahaya menimpaku dan aku juga tidak sedang sakit, hanya saja jika aku tidak melihatmu maka aku sangat merindukanmu dan (karena rinduku itu) aku benar-benar gelisah sampai aku bertemu denganmu. Ketika aku merenungkan, mengingat akan akhirat, aku takut tidak bisa lagi melihatmu di sana karena engkau ya Rasullallah akan ditempatkan di tempat yang tinggi bersama para Nabi. Sedangkan aku, kalaulah aku dimasukkan surga, maka aku akan menempati surga yang jauh lebih rendah dari tempatmu, dan kalau aku dimasukkan neraka, maka selamanya aku tidak akan bisa lagi melihatmu.” Maka Allah menurunkan firmannya (an-Nisa’:69)

وَمَن يُطِعِ اللّهَ وَالرّسُولَ فَأُوْلَـَئِكَ مَعَ الّذِينَ أَنْعَمَ اللّهُ عَلَيْهِم مّنَ النّبِيّينَ وَالصّدّيقِينَ وَالشّهَدَآءِ وَالصّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَـَئِكَ رَفِيقاً

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.
Code : Share