Kamis, 05 Mei 2011

GONO GINI

GONO GINI
(Harta bersama suami istri)
Dalam pandangan UU tahun 1974 tetang Perkawinan tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum Fiqh

Salah satu hal yang sering menjadi perbincangan dalam rumah tangga adalah masalah kepemilikan harta. Harta milik suami, harta milik istri, dan harta milik bersama. Biasanya urusan tersebut menjadi pembicaraan hangat dan serius ketika terjadi keretakan hubungan suami istri dan berujung kepada perpisahan atau perceraian. Urusan kepemilikan yang pada awal rumah tangga dibangun tidak atau jarang diperhitungkan karena indahnya cinta, nikmatnya hubungan cinta yang dihalalkan dengan pernikahan, atau karena ke_tabu_an membicarakannya, justru seringkali menjadi penyebab bertambah parahnya keadaan rumah tangga yang sedang berada di ambang perceraian atau bahkan pasca perceraian terjadi. Bukan hanya itu, terkadang urusan gono – gini juga menjadi penyebab sengketa ahli waris ketika perpisahan antara suami istri disebabkan karena salah satu di antara mereka meninggal dunia.

Kecenderungan manusia untuk tidak mau melepas sedikitpun harta hak milik yang dia miliki (bakhil, sangat kuat citanya kepada harta) seperti disebutkan dalam surat al – ‘Adiyat 8 Dan Sesungguhnya dia sangat bakhil Karena cintanya kepada harta,” juga menjadi sebab besar terjadinya sengketa dalam pembagian gono – gini ketika sebuah keluarga dihadapkan kepada perceraian.

Penguasa (Pemerintah) yang ikut memiliki tanggung jawab dalam urusan pernikahan dan hal – hal yang berkaitan dengan hal tersebut telah memiliki kaidah – kaidah yang jelas, sebagaimana telah ditetapkan dalam UU tahun 1974 tetang Perkawinan serta telah jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketetapan – ketetapan yang ada, di samping sebagai pedoman dalam urusan pernikahan, juga sangat diharapkan mampu meredam dan menyelesaikan segala sengketa yang terjadi khususnya dalam urusan harta bersama.

Meskipun demikian, sebenarnya perihal harta milik bersama atau yang lebih dikenal dengan istilah gono – gini, adalah urusan rumah tangga. Urusan ini dapat diselesaikan dengan jalan damai melalui musyawarah. Kesepakatan – kesepakatan yang ditetapkan dalam musyawarah itu kemudian menjadi ketetapan yang mengikat dan berlaku serta menjadi hukum yang harus ditaati suami dan istri. Kelonggaran untuk mencari jalan damai ini lebih disukai, sehingga masalah yang terjadi dapat diselesaikan dengan baik, tanpa harus menambah masalah yang dampaknya sangat mungkin akan ikut mempengaruhi hubungan ukhuwwah yang harus dipertahankan, apalagi sampai mempengaruhi hubungan antara orang tua dan anak.

Status kepemilikan harta dalam rumah tangga 

Pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah mulia. Menyatukan dua orang berlainan jenis dalam ikatan hubungan yang halal, memperjelas nasab dan keturunan. “Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,” dan Allah menjadikan diantara laki – laki dan perempuan dengan pernikahan itu “rasa kasih dan sayang.” (ar – Ruum 21). Berkumpulnya laki – laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan itu juga menjadi sebab berkumpulnya kekayaan harta benda ;

  1. Harta milik suami, yaitu harta yang dimiliki oleh suami saja, tanpa kepemilikan isteri pada harta itu.
    • Harta yang dimiliki suami sebelum terjadi pernikahan.
    • Seluruh harta yang dimiliki suami sebelum terjadi pernikahan, baik harta itu diperoleh dari pemberian orang tua, hasil kerja, hibah, waris, atau dari sebab – sebab lain, tetap menjadi milik suami setelah pernikahan.
    • Harta yang diperoleh setelah terjadi pernikahan.
    • Terjadinya pernikahan tidak secara otomatis menjadikan harta yang diperoleh suami menjadi harta milik bersama atau berpindah menjadi milik istri. Seluruh harta yang diperoleh suami dari hibah, hadiah yang dikhususkan kepadanya, harta yang didapat dari pembagian harta waris, adalah harta yang dimiliki oleh suami tanpa kepemilikan istri. Demikian pula harta hasil usaha suami yang tidak atau belum diberikan kepada istri, maka harta itu tetap menjadi milik suami tanpa kemilikan istri pada harta itu.
  2. Harta milik isteri, yaitu harta yang dimiliki oleh isteri saja, tanpa kepemilikan suami pada harta itu.
    • Harta yang dimiliki istri sebelum terjadi pernikahan.
    • Seluruh harta yang dimiliki istri sebelum terjadi pernikahan, baik harta itu diperoleh dari pemberian orang tua, hasil kerja, hibah, waris, atau dari sebab – sebab lain, tetap menjadi milik istri setelah pernikahan.
    • Harta yang diperoleh setelah terjadi pernikahan.
    • Sebagaimana harta milik suami, terjadinya pernikahan tidak secara otomatis menjadikan harta yang diperoleh istri menjadi harta milik bersama atau berpindah menjadi milik suami. Seluruh harta yang diperoleh istri sebagai nafkah dari suaminyahibah, hadiah yang dikhususkan kepadanya, termasuk mahar pernikahan, harta yang didapat dari pembagian harta waris, adalah harta yang dimiliki oleh istri tanpa kepemilikan suami. Termasuk harta hasil usaha istri yang tidak atau belum dishadaqahkan kepada suami atau dishadaqahkan untuk kepentingan keluarga, maka harta itu tetap menjadi milik istri tanpa kemilikan suami pada harta itu.
  3. Harta milik bersama, yaitu harta yang dimiliki oleh suami dan istri secara bersama.
  4. Harta benda rumah tangga dapat menjadi milik bersama jika diperoleh dari hasil bersama. Harta benda yang dibeli dengan uang suami istri (patungan) misalnya, menjadi milik bersama. Termasuk harta milik bersama adalah harta yang diperoleh dari pemberian, hibah, hadiah orang lain untuk keduanya (suami istri). Demikian pula harta suami atau istri dapat menjadi harta milik bersama jika suami atau istri sebagai pemilik harta itu dengan sukarela memberikan hak miliknya untuk menjadi milik bersama.

Kepemilikan harta benda suami istri dalam UU tahun 1974 tetang Perkawinan

  1. Tentang harta yang dimiliki masing – masing suami dan istri :
  2. Pasal 35 ayat 2
    (2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
    Pasal 36 ayat 2
    (2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
  3. Tentang harta milik bersama (harta bersama) :
  4. Pasal 35 ayat 1
    (1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama

Kepemilikan harta benda suami istri dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

  1. tentang harta milik masing – masing suami dan istri :
  2. Pasal 85
    Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing – masing suami atau isteri.
    Pasal 86
    (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.
    (2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.
    Pasal 87
    (1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
    (2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.
  3. Tentang harta milik bersama (harta bersama), disebutkan dalam KHI sebagai berikut :
  4. Pasal 1
    (f) Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
GONO – GINI

Gono gini adalah harta perolehan bersama selama bersuami istri. Harta gono – gini inilah yang dalam UU tahun 1974 tetang Perkawinan dan dalam Kompilasi Hukum islam disebut dengan harta bersama. Harta gono – gini ini juga yang akan dibagi untuk suami dan istri jika terjadi percerian.
Tatacara pembagian harta gono – gini diatur dalam UU tahun 1974 tetang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :

  1. UU tahun 1974 tetang Perkawinan
  2. Pasal 37
    Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.
    Penjelasan Pasal 37
    Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
  3. Kompilasi Hukum Islam
  4. Pasal 96 :
    (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
    Pasal 97
    Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari hartabersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Tatacara seperti disebutkan di atas sangat jelas. Tetapi terdapat perbedaan tatacara yang juga sangat jelas. UU tahun 1974 tetang Perkawinan memberikan kelonggaran tatacara pembagian harta bersama dengan penyelesaian melalui hukum masing – masing. Dengan hukum agama, hukum adat, atau hukum lain yang disepakati suami dan istri. Sedangkan tatacara yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam secara tegas menetapkan bagian masing – masing suami dan istri adalah seperdua (50 : 50).


GONO GINI dalam PANDANGAN FIQH ISLAM

Syari’ah Islam mengakui hak – hak kepemilikan pribadi. Firman Allah tentang tata waris (an – Nisa’ 12) menyebutkan “…dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,” dan pada ayat yang sama harta yang kamu (suami) tinggalkan” adalah salah satu bentuk pengakuan bahwa masing – masing suami dan istri mempunyai hak milik secara pribadi, yang  hak milik itu akan menjadi tirkah (harta waris) untuk ahlinya. Jelasnya bahwa syari’ah Islam mengakui bahwa suami dapat memiliki hartanya sendiri dan tidak ada kemilikan istri dalam harta itu, dan istri juga dapat memiliki hartanya sendiri tanpa ada kepemilikan suami dalam harta itu.

Istilah gono gini tidak dikenal dalam hukum fiqh Islam. Tetapi jika menilik definisi gono gini adalah harta harta bersama, maka gono gini dapat dikategorikan sebagai harta.
syirkahYang dimaksud dengan syirkah dalam hal harta gono gini adalah syirkah kepemilikan (syirkah milk/syirkah amlak), yaitu kepemilikan bersama atas suatu barang di antara dua orang atau lebih. Kepemilikan bersama itu bisa terjadi karena sebab – sebab seperti jual-beli, hibah, wasiat, dan waris, atau karena adanya percampuran harta benda yang sulit untuk dipilah-pilah dan dibedakan.

Mengingat bahwa harta yang dikenal dengan gono – gini adalah harta yang harus jelas menjadi milik bersama dan terpisah dari harta pribadi masing – masing suami dan istri, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu sebelum harta bersama itu dibagi.
  1. Kebutuhan ekonomi rumah tangga adalah tanggung jawab suami.
  2. Bahwa setelah terjadinya ijab dan qabul dalam aqad nikah, maka sejak saat itu seorang laki – laki berstatus sebagai suami, sebagai kepala rumah tangga. Kebutuhan sandang pangan istri, nafakah, dan segala kebutuhan dalam rumah tangga menjadi tanggung jawabnya.
    Firman Allah
    • “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (an – Nisa’ ; 4)
    • “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (an – Nisa’ ; 34)
    • dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (Al – Baqarah ; 233)
    • “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (ath – Thalaq ; 6)
    • “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (ath – Thalaq ; 7)
    Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
    • Seorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Wahai Rasulullah, apakah hak istri salah seorang dari kami terhadap suaminya?” Beliau menjawab: “Engkau beri makan istrimu bila engkau makan dan engkau beri pakaian bila engkau berpakaian, jangan engkau pukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekan dia dan jangan engkau kucilkan dia kecuali di dalam rumah. (pisah ranjang)” (HR. Abu Daud)
    • “Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari Muslim)
    • “Sedangkan hak mereka (istri) terhadap kalian (suami) adalah kalian berbuat baik kepada mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
    • “Satu dinar yang engkau belanjakan untuk perang di jalan Allah dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk istrimu, yang paling besar pahalanya ialah apa yang engkau berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari Muslim)
    Dalil – dalil di atas menjadi dasar wajibnya suami untuk mencukupi kebutuhan makan, pakaian, dan nafakah istri serta kebutuhan biaya rumah tangga. Kewajiban suami dalam hal nafkah itu tidak dapat dikatakan gugur meskipun istri adalah seorang yang kaya raya atau memiliki penghasilan sendiri. Dengan demikian, maka harta istri tetap menjadi milik istri dan segala macam harta yang oleh suami telah diberikan kepada istri juga menjadi milik istri, bukan termasuk harta bersama (gono gini).
    Dalam penjelasan yang disusun oleh Syaifullah Utan – Sumbawa, seperti dimuat dalam eramuslim  (http://www.eramuslim.com/ustadz/ask/mwr) secara gamblang beliau dijelaskan; “…seorang wanita punya hak istimewa dalam Islam. Seorang wanita tidak pernah disunnahkan, apalagi diwajibkan, untuk mencari nafkah untuk dirinya sendiri. Kalau dia masih punya ayah, maka nafkahnya ditanggung oleh ayahnya. Dan kalau dia sudah bersuami, maka nafkahnya ditanggung oleh suaminya.”
    Selanjutnya tentang konsep nafkah dijelaskan “Nafkah adalah pemberian harta dari suami kepada isteri, di mana harta itu bukan milik bersama melainkan harta itu kemudian menjadi milik isteri. Namun yang selama ini lebih sering terjadi adalah seorang suami menyerahkan gajinya kepada isteri untuk keperluan hidup. Di mana gaji itu seolah-olah bukan milik isteri, melainkan milik berdua. Sehingga isteri tidak mendapat apa-apa dari gaji suami. Seharusnya, isteri dapat jatah khusus untuk dirinya, entah untuk ditabung atau dibelanjakan, di mana dia punya account khusus yang wajib terus dibayarkan oleh suami, di luar semua kepentingan rumah tangga. Sebab di luar nafkah isteri, suami tetap wajib membiayai semua keperluan hidup seperti makanan, pakaian, rumah dan keperluan rumah tangga yang lain. Intinya, seorang isteri harus mendapat ‘gaji’ tersendiri, di luar kebutuhan rumah tangga.”
    Penjelasan tersebut membagi nafkah menjadi dua macam ;
    1. Nafkah untuk kebutuhan rumah tangga ; sandang, pangan, biaya bulanan (sewa rumah, listrik, air, dsb), serta biaya – biaya lain yang harus dipenuhi untuk kebutuhan rumah tangga.
    2. Nafkah khusus diberikan kepada istri (untuk dimiliki istri) di luar kebutuhan rumah tangga.
    Ringkasnya, jika seorang wanita sebelum menikah mendapatkan nafkah sandang pangan, dan biaya keperluan lain seperti belanja untuk kepentingan pribadi, uang jajan, atau uang tabungan untuk dirinya dari orang tua (ayah), maka hal yang sama didapatkan seorang istri dari suaminya.
    Bagaimana jika seorang suami yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk memberi nafkah tetapi dia pelit dan tidak menjalankan kewajiban memberi nafkah kepada istrinya ? Jawbannya ada pada hadits ;
    ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Hindun bintu ‘Utbah, istri Abu Sufyan datang mengadu kepada Rasulullah
    Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Wahai Rasulullah, sungguh Abu Sufyan seorang yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
  3. Haram bagi suami untuk meminta kembali harta benda yang telah diberikan kepada istrinya.
  4. Firman Allah “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain (cerai dan menikah dengan wanita lain), sedang kamu Telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?” (an – Nisa’ 20)
  5. Jika istri kaya, berpenghasilan, dan ikut membiayai kebutuhan rumah tangga.
  6. Sekali lagi bahwa kekayaan istri adalah milik istri secara pribadi. Jika istri memiliki usaha yang menghasilkan harta benda, maka hasil usaha itu juga milik istri. Sebabnya adalah jelas, karena kebutuhan ekonomi keluarga adalah tanggung jawab suami. Namun demikian, jika istri ingin berpartisipasi dengan sukarela memberikan sebagian atau semua hak miliknya untuk kepentingan rumah tangga, maka hal yang demikian diperbolehkan dalam syari’at Islam.
    Firman Allah “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Dengan memperhatikan hal – hal tentang harta benda dalam rumah tangga seperti disebutkan di atas, pembagian harta bersama hendaknya diawali dengan pemilahan/pemisahan harta milik masing – masing suami dan istri. Tentunya hal ini memerlukan kejujuran dari kedua belah pihak. Jika telah jelas harta mana milik suami dan harta mana milik istri, selanjutnya barulah dilakukan pembagian harta bersama.

Mengingat bahwa Pasal 97 Kompilasi Hukum IslamJanda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan,” yang dengan pasal itu bisa saja merugikan salah satu pihak suami atau istri, maka pembagian harta bersama (gono – gini) dilakukan dengan merujuk kepada UU tahun 1974 tetang Perkawinan Pasal 37 “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing” dengan penjelasan bahwa “Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya,” yakni menurut hukum syari’at Islam.
  1. Pembagian harta gono – gono atau harta bersama atau dalam fiqh disebut dengan syirkah amlak dilakukan dengan menghitung prosentase harta yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak untuk bersama – sama membeli/mendapatkan/ harta benda yang dimiliki bersama.
  2. Contoh : Sebuah rumah dibeli dengan 70 % harta istri dan 30 % harta suami. Jika rumah yang dibeli dengan harta bersama tersebut dijual, maka bagian suami dan istri adalah sebanding dengan prosentase harta yang mereka keluarkan saat membeli.
  3. Pembagian harta syirkah dilakukan dengan ash – shulhu (الصلح) yaitu jalan perdamaian.
  4. Dalam al – Qur’an surat an – Nisa’ 128, ash – shulhu atau perdamaian berarti kerelaan istri untuk melepaskan sebagian haknya sebagai jalan agar rumah tangga tidak berakhir dengan perceraian. Pemaknaan atau penafsiran ayat seperti didasarkan pada hadits tentang Saudah istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika Saudah merasa khawatir akan diceraikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia memberikan hak satu malamnya untuk ‘Aisyah.
    Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an – Nisa’ 128)
    Ash – shulhu dalam hal pembagian harta bersama (syirkah amlak) adalah perdamaian yang ditempuh melalui kesepakatan – kesepakatan antara suami dan istri tentang bagian yang diterima oleh masing – masing, yang di dalam kesepakatan – kesepakatan itu istri atau suami dengan suka rela melepaskan sebagian haknya.
    Contoh ; Karena pertimbangan bahwa ada anak – anak yang ikut dalam asuhan ibu, maka suami istri sepakat untuk membagi harta bersama, 30 % untuk suami dan 70% untuk istri.
    Contoh ; Suami istri membeli mobil dengan harta patungan 50 : 50. Pada saat pembagian harta milik bersama, -setelah mobil milik bersama dijual- karena istri kaya raya dan memiliki usaha sendiri sedangkan suami meskipun memiliki pekerjaan tetap tetapi memiliki tanggungan dalam jumlah besar (hutang pribadi) yang masih harus diselesaikan, maka istri rela untuk menerima 25% hasil penjualan mobil dan sisanya untuk suami. Firman Allah “…dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir…” (an – Nisa’ 128)

Dengan menempuh jalan ash – shulhu ini maka pembagian harta milik bersama dalam rumah tangga tidak menjadi sengketa berkepanjangan. Pengadilan Agama adalah pihak ketiga, sebagai tempat penyelesaian apabila urusan pembagian harta bersama menemui jalan buntu. Kompilasi Hukum Islam Pasal 88 menyebutkan “Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.”

Wallahu a’lam bish – shawab
Code : Share

Tidak ada komentar:

Posting Komentar